Eksistensi anak jalanan terpaut dengan perlakuan dan kondisi dalam keluarga, kemiskinan, perceraian orangtua, minimnya perhatian dari lingkungan sosial, dan tendensi memprioritaskan uang dari pada bersekolah atau melakukan kegiatan lain. Terdapat empat tipe anak jalanan yaitu:
FenomenaAnak jalanan ini serta-merta membangun pertanyaan ,
Prioritas konstitusional agar negara berperan aktif dalam membanguan manusia agar lebih bermartabat , menjadi antitesis dengan kondisi objektif mutu hidup manusia Indonesia saat ini , dan secara khusus masa depan dan perlakuan terhadap Anak jalanan . Martabat (integrity) manusia Indonesia menjadi buram karena balutan kemiskinan , dan mutu hidup mayoritas manusia Indonesia yang masih di bawah standar minimum . Di Indonesia , jaringan sosial sangat minim dikembangkan lintas institusi Negara , institusi keagamaan , institusi etnis , dan institusi golongan . Anak jalanan masih menjadi dominasi lembaga pemerintah (Kementerian Sosial) , dan institusi lainnya didaulat untuk ikut berpartisipasi , sebab ketiadaan dana , daya dan sumberdaya manusia yang memadai . Sekat-sekat kelembagaan dalam menangani kelompok marjinal, seperti Anak jalanan tampaknya belum berubah sejak rezim Orde Baru , di mana hegemoni dan dominasi negara begitu menonjol .
Keberadaan Anak jalanan yang belum tuntas dan komprehensif ditangani , berdampak pada semakin banyaknya warga negara Indonesia yang hidup tanpa martabat . Integritas tidak selalu harus dipertautkan dengan kepemilikan material , tetapi martabat mempunyai kaitan dengan hak-hak dasar manusia untuk diperlakukan dan ditangani secara manusiawi . Kebijakan yang berpihak kepada kelompok penguasa dan para kapitalis merupakan sumber bencana sosial, yang tidak kalah dahsyatnya dari bencana alam . Proses peminggiran masyarakat secara sistematik jelas tampak pada keberpihakan pemerintah pada para elit dan pemilik modal , dan menomorduakan Anak jalanan . Proses yang direncanakan atau tidak direncanakan masuk ke ranah eksklusi sosial dengan dampak masif dan sulit diatasi , sebagaimana tantangan Anak jalanan bagi pemerintah saat ini.
Ambiguitas pendekatan terhadap Anak jalanan masih terasa parsial dan mengedepankan ego sektoral setiap institus , yang belum sanggup disinergikan menjadi satu kekuatan nasional, untuk memerangi akar kemiskinan dan eksklusi sosial yang semakin parah. Program inklusi sosial untuk membawa balik Anak jalanan ke lingkungan hidup yang memadai sangat minim , dan penanganan saat ini terkesan kosmetik , dan tidak membedah akar permasalaham eksklusi social , termasuk Anak jalanan . Fungsi "Rumah Singgah" sebagai wadah berkumpul Anak jalanan hanyalah program sejenak dan tidak akan mereduksi akumulasi Anak jalanan , apabila kebijakan yang "pro poor", program inklusif bagi Anak jalanan tidak tersinergikan secara nasional , maka program penanganan Anak jalanan akan terkesan populis . Nyatanya, keberadaan Anak jalanan di Indonesia adalah juga buah dari pembangunan nasional yang parsial , temporer , dan sektoral semata.
0 komentar:
Posting Komentar