Anak Jalanan
Anak jalanan adalah selompok anak - anak yang hidup nya bergantunng di jalan dengan keterbatasan ekonomi rendah yang memaksanya untuk mencari uang dan hidup di jalanan , tidak sedikit anak jalanan yang berada di ibu kota bahkan di kota-kota besar lain nya , anak jalanan biasanya bekerja sebagai pengamen , pengemis , ojek paying dll .
kehadiran anak jalanan di kota – kota besar di Indonesia banyak menggangu ketertiban kota sebenarnya . tetapi apabila kita melihat mereka dari sisi lain , kita pasti iba kepada nasib mereka , sekecil itu mereka harus menanggung beban hidup yang besar , tidak mendapat pendidikan yang layak .
Anak jalanan , sudah lama menyita perhatian penentu kebijakan di Departemen Sosial dan pemerintahan daerah di kota-kota besar. Diasumsikan, jumlah anak jalanan di 12 kota besar di Indonesia sebanyak 100.000 jiwa tahun 2009 , dan jumlah terbesar diperkirakan berada di Ibukota . Anak jalanan selalu terkait dengan kriteria yang dikenakan kepada mereka oleh pemerintah, yaitu anak yang berusia 5-18 tahun, yang menghabiskan sebagai besar waktunya di jalan, untuk mencari nafkah, atau berkeliaran di jalan raya atau tempat-tempat umum . Menurut sumber yang di peroleh biasanya anak jalanan menghabiskan wakyu di jalan 4jam per hari, pola pengalokasian waktu serupa terus dilakukan hingga mereka menemukan sumber nafkah lain, atau lingkungan sosial yang dapat menampung mereka.
Eksistensi anak jalanan terpaut dengan perlakuan dan kondisi dalam keluarga, kemiskinan, perceraian orangtua, minimnya perhatian dari lingkungan sosial, dan tendensi memprioritaskan uang dari pada bersekolah atau melakukan kegiatan lain. Terdapat empat tipe anak jalanan yaitu:
· Anak jalanan yang masih tinggal dengan orangtua nya ,
· Anak jalanan yang memiliki orangtua tetapi tidak tinggal dengan mereka,
· Anak jalanan yang tidak memiliki orangtua, tetapi tinggal dengan keluarga tertentu , dan
· Anak jalanan yang tidak memiliki orangtua dan tidak tinggal dengan keluarga.
Pekerjaan utama Anak jalanan adalah pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanja di toko atau pasar dan peminta-minta.
FenomenaAnak jalanan ini serta-merta membangun pertanyaan ,
siapakah sejatinya yang mesti bertanggung jawab atas mereka ? Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen , Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan bahwa "Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara" . Diktum konstitusi ini jelas memberikan kewenangan pada negara untuk mengurus dan bukannya untuk menangkapi Anak jalanan . Atensi utama pada pemeliharaan , penanganan dan pemberdayaan , tampaknya belum dipahami secara merata di semua instansi pemerintah tentang mandat konsitusi untuk memperhatikan kelompok marginal , seperti : Anak jalanan. Landasan konstitusional dengan indicator terukur tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945 , Pasal 34 Ayat 2 bahwa "Negara mengembangkan suatu jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Prioritas konstitusional agar negara berperan aktif dalam membanguan manusia agar lebih bermartabat , menjadi antitesis dengan kondisi objektif mutu hidup manusia Indonesia saat ini , dan secara khusus masa depan dan perlakuan terhadap Anak jalanan . Martabat (integrity) manusia Indonesia menjadi buram karena balutan kemiskinan , dan mutu hidup mayoritas manusia Indonesia yang masih di bawah standar minimum . Di Indonesia , jaringan sosial sangat minim dikembangkan lintas institusi Negara , institusi keagamaan , institusi etnis , dan institusi golongan . Anak jalanan masih menjadi dominasi lembaga pemerintah (Kementerian Sosial) , dan institusi lainnya didaulat untuk ikut berpartisipasi , sebab ketiadaan dana , daya dan sumberdaya manusia yang memadai . Sekat-sekat kelembagaan dalam menangani kelompok marjinal, seperti Anak jalanan tampaknya belum berubah sejak rezim Orde Baru , di mana hegemoni dan dominasi negara begitu menonjol .
Keberadaan Anak jalanan yang belum tuntas dan komprehensif ditangani , berdampak pada semakin banyaknya warga negara Indonesia yang hidup tanpa martabat . Integritas tidak selalu harus dipertautkan dengan kepemilikan material , tetapi martabat mempunyai kaitan dengan hak-hak dasar manusia untuk diperlakukan dan ditangani secara manusiawi . Kebijakan yang berpihak kepada kelompok penguasa dan para kapitalis merupakan sumber bencana sosial, yang tidak kalah dahsyatnya dari bencana alam . Proses peminggiran masyarakat secara sistematik jelas tampak pada keberpihakan pemerintah pada para elit dan pemilik modal , dan menomorduakan Anak jalanan . Proses yang direncanakan atau tidak direncanakan masuk ke ranah eksklusi sosial dengan dampak masif dan sulit diatasi , sebagaimana tantangan Anak jalanan bagi pemerintah saat ini.
Ambiguitas pendekatan terhadap Anak jalanan masih terasa parsial dan mengedepankan ego sektoral setiap institus , yang belum sanggup disinergikan menjadi satu kekuatan nasional, untuk memerangi akar kemiskinan dan eksklusi sosial yang semakin parah. Program inklusi sosial untuk membawa balik Anak jalanan ke lingkungan hidup yang memadai sangat minim , dan penanganan saat ini terkesan kosmetik , dan tidak membedah akar permasalaham eksklusi social , termasuk Anak jalanan . Fungsi "Rumah Singgah" sebagai wadah berkumpul Anak jalanan hanyalah program sejenak dan tidak akan mereduksi akumulasi Anak jalanan , apabila kebijakan yang "pro poor", program inklusif bagi Anak jalanan tidak tersinergikan secara nasional , maka program penanganan Anak jalanan akan terkesan populis . Nyatanya, keberadaan Anak jalanan di Indonesia adalah juga buah dari pembangunan nasional yang parsial , temporer , dan sektoral semata.
POTRET – POTRET Anak Jalanan Ibu kota
RUMAH SINGGAH Anak jalanan